Apakah Seorang Muslim Langsung divonis kafir jika sengaja meninggalkan sholat?,
👇👇👇
📢 Simak juga
Hukum meninggalkan sholat terus menerus dengan sengaja oleh syeikh Sholeh Fauzah hafizahullah
👇👇👇
- Menentang kewajiban shalat maka dia telah kafir dan tak boleh di kuburan kaum muslimin
- Tahu dan imani kewajiban maka tidak jatuh kepada kekafiran dan boleh dikuburkan di kuburan kaum muslimin
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” [At-Taubah/9:11]
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun. [Maryam/19:59-60]
Allâh Azza wa Jalla telah menentukan tiga syarat agar terjalin ukhuwah antara kaum Muslimin dengan kaum musyrikin. Tiga syarat tersebut adalah:
- Mereka bertaubat dari syirik.
- Mereka mendirikan shalat
- Mereka menunaikan zakat.
2 sudut pandang jika mendapati seorang muslim tidak melaksanakan sholat fardhu
1. Hukum secara itiqody (keyakinan dalam hati).
orang yg ngaku muslim meninggalkan sholat secara sengaja apalagi terus menerus maka dia telah jatuh kepada kekufuran dan wajib baginya taubat agar tidak menjadi orang yg merugi di akhirat kelak.
أكثر العلماء اتفقوا على أن من ترك الصلاة متعمد بغير عذر الشرعي فهو كافر ثم اختلفوا هل ترك الصلاة كليا أو جزئيا
2. Hukum qadhi (peradilan).
قال ابن عبد البر رحمه الله : ” أجمع المسلمون على أن جاحد فرض الصلاة كافر يقتل إن لم يتب من كفره ذلك، واختلفوا في المقر بها وبفرضها التارك عمدا لعملها ، وهو على القيام بها قادر ” انتهى من “الاستذكار” (2 /149) .
3 Sudut pandang terhadap pelaku yang melakukan kekufuran seperti meninggalkan sholat dengan sengaja:
1. Aqidah ahlussunah
menetapkan kekafiran seseorang dengan penuh kehati-hatian dan ada perincian namun dalam hati tetap meyakini bahwa perbuatan kufur seseorang dengan sengaja dan dia tahu ilmunya maka telah menjadikan dia kafir, wajib bagi orang tersebut bertaubat sebelum ajal menjemput.
واحتجوا بظواهر النصوص التي تحكم بكفره ، وبقول عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِيِّ : ” كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ ” رواه الترمذي (2622) وصححه الألباني في “صحيح الترمذي” .
وقال ابن عثيمين رحمه الله : ” الذي يظهر لي أنه لا يكفر إلا بالترك المطلق بحيث لا يصلي أبداً ، وأما من يصلي أحيانا فإنه لا يكفر ” انتهى من “مجموع فتاوى ابن عثيمين ” (12/55) .
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ : إِلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلاَةِ تَكَاسُلاً يُدْعَى إِلَى فِعْلِهَا وَيُقَال لَهُ : إِنْ صَلَّيْتَ وَإِلاَّ قَتَلْنَاكَ ، فَإِنْ صَلَّى ، وَإِلاَّ وَجَبَ قَتْلُهُ . وَلاَ يُقْتَل حَتَّى يُحْبَسَ ثَلاَثًا وَيُدْعَى فِي وَقْتِ كُل صَلاَةٍ ، فَإِنْ صَلَّى وَإِلاَّ قُتِل حَدًّا ، وَقِيل كُفْرًا ، أَيْ لاَ يُغَسَّل وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَلاَ يُدْفَنُ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ . لَكِنْ لاَ يُرَقُّ وَلاَ يُسْبَى لَهُ أَهْلٌ وَلاَ وَلَدٌ كَسَائِرِ الْمُرْتَدِّينَ ” انتهى .
dan sepakat dalam mazhab hambali: orang yang meninggalkan sholat karna bermalasan, dibawa ke hakim, lalu hakim memerintahkannya untuk mengerjakan sholat dan berkata: kerjakan sholat dan jika tidak maka kami tegakkan hukum bunuh, jika dia kerjakan maka selesai perkara namun jika tidak maka wajib ditegakkan hukum. pelaku tidak dibunuh langsung, dipenjara dulu selama 3 hari dan selama 3 hari tersebut diperintahkan sholat jika sudah masuk waktu sholat. jika tidak sholat juga maka ditegakkan hukum hadd dan ditetapkan oleh hakim dia telah kafir, jenazahnya tidak dimandikan, tidak disholatkan dan tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin. akan tetapi dia tidak diperbudak, anak dan keluarganya tidak akan ditawan seperti orang murtad lainnya.
جاء في “الموسوعة الفقهية” (27/53-54) : ” ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ تَاركَ الصَّلاَةِ تَهَاوُنًا وَكَسَلاً ، لاَ جُحُودًا ، يُقْتَل حَدًّا أَيْ أَنَّ حُكْمَهُ بَعْدَ الْمَوْتِ حُكْمُ الْمُسْلِمِ فَيُغَسَّل ، وَيُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَيُدْفَنُ مَعَ الْمُسْلِمِينَ .
adapun hukum peradilan adalah hak hakim yang menentukan apakah dia kafir atau tidak, menasehati agar pelaku bertaubat dan jika tidak berubah maka di beri hukuman agar memberi efek jera dirinya dan mencegah kaum muslimin agar jangan bermudah mudahan meninggalkan sholat fardhu, sebagai bentuk kasih sayang kepada kaum muslimin agar mereka tahu akan pentingnya kedudukan shalat setelah tauhid. ini manhaj aqidah yang benar.
2. Aqidahnya murjiah
(bermudah-mudahan dalam menganggap seseorang masih muslim) pelaku kekafiran yang tidak ada udzur syar’i tetap dikatakan muslim, melakukan dosa besar tidak berpengaruh kepada kualitas iman. syubhat murjiah ini banyak menimpa umat islam sehingga banyak kaum muslimin yang bermudah-mudahan meninggalkan shalat dengan sengaja dan melakukan dosa besar lainnya, beranggapan imannya tetap kuat dan dosanya pasti diampuni, nauzubillah.
3. Aqidah khawarij
(bermudah-mudahan dalam menganggap seseorang telah kafir) Pelaku dosa besar bukan perbuatan kekafiran dikatakan kafir sehingga mereka bermudahan dalam mengkafirkan secara individu dan tingkat ekstrim hingga menghalalkan darah kaum muslimin secara serampangan sebagaimana dialami oleh khalifah ke 4 Ali bin abi thalib radhiallahu anhu yang dibunuh oleh abdurrahman ibnu muljam yang beraqidah khawarij. jadi dalam hal hukum peradilan, yang berhak menghukumi seseorang kafir dan berhak bagi pelaku mendapat hukuman adalah hakim yang ditunjuk oleh pemerintah kaum muslimin.
dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran. Shahih Bukhari

